HTML/Java Script

BG. II. 47 Kaarmany eva dhikaras te, ma phalesu kada ca na, ma kaarma phala hetur bur, ma te sango 'stva akaarmany || berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu (yang kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tanpa kerja|

Sabtu, 02 Mei 2015

Komunikasi Penyuluh Agama Hindu dalam Mencegah Konflik Akibat Masuknya Sampradaya Baru pada Suatu Banjar

oleh: I Made Sri Wirdiata



A. Pendahuluan
Keanekaragaman jalan bhakti dalam agama Hindu adalah suatu keniscayaan, sebagaimana dijamin oleh Weda. Bhagavata Purana atau Srimad Bhagavatam VII.5.23 menyebutkan ada 9 (sembilan) jenis cara mewujudkan rasa bhakti kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan nawa laksana bhakti.
Ekspresi bhakti umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapaat diwujudkan melalui salah satu atau beberapa jalan yang disukai dan dapat membuatnya nyaman, sebagaimana dijamin dalam Bhagawad Gita IV.11. Karena pada hakekatnya jalan manapun yang ditempuh, sudah pasti akan menuju pada-Nya. Jalan bhakti yang beragam itu biasanya dipilih satu atau beberapa oleh sekelompok umat Hindu dengan berlandaskan pada tattwa (filsafat Hindu) tertentu yang kemudian disebut dengan Sampradaya (aliran kepercayaan dalam agama Hindu).


Sampradaya yang ada di Indonesia tidak dilarang sejauh masih mendasarkan tattwa¬-nya pada Weda, dan mentaati Ketetapan Maha Sabha VIII PHDI nomor III/TAP/M.SABHA/VIII/2001 tanggal 23 September 2001. Namun rupanya belakangan ini sebagian oknum penerus atau pengikut beberapa sampradaya mulai mengalami kondisi distorsi pemahaman tattwa agama Hindu secara luas sehingga merasa tattwa dan jalan bhakti yang diikutinya-lah yang paling benar, sedangkan jalan bhakti lainnya yang diikuti oleh umat Hindu lainnya dianggap salah, serta terkesan memaksakan agar jalan yang ditempuhnya itu diikuti oleh umat Hindu lainnya.
Sebagai contoh, hadirnya salah satu sampradaya di Banjar Yadnya Sari, Desa Kokarlian, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat sejak pertengahan tahun 2013 telah menimbulkan ekses pada kehidupan masyarakat yang ada di banjar tersebut. Bukan disebabkan oleh masalah ajaran pokok sampradaya tersebut, melainkan perilaku dari pengikut ajaran itu yang tidak tepat menempatkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Penyuluh Agama Hindu Kementerian Agama Kantor Kabupaten Sumbawa Barat yang melakukan pengamatan pada akhir tahun 2013 saat melaksanakan penyuluhan di banjar tersebut mendapati bahwa masyarakat ada yang menerima kehadiran dan konsep ajaran sampradaya tersebut, ada pula yang tidak dapat menerima. Bagi masyarakat yang menerima tentu mengikuti tata cara yang diterapkan oleh sampradaya itu. Bagi yang tidak menerima sudah tentu pula menjadi antipati.
Setelah Penyuluh Agama Hindu bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Sumbawa Barat melakukan kajian terhadap sampradaya yang masuk di Banjar Yadnya Sari, dari fakta yang ada dan data yang didapatkan, diperoleh informasi bahwa ada perilaku yang berpotensi memunculkan konflik internal umat Hindu di Banjar Yadnya Sari. Selain itu disebabkan pula oleh kurangnya pemahaman umat Hindu mengenai keanekaragaman konsep bhakti. Pakem penggunaan pura sebagai tempat kegiatan bhakti yang selama ini telah memasyarakat juga mulai diabaikan dan diganti begitu saja oleh sampradaya tanpa mengindahkan adanya bendesa adat yang bertanggungjawab atas pura. Lebih-lebih pengikut sampradaya ini mulai bersikap egois, seperti menyalahkan tradisi sebelumnya, dan mengekslusifkan diri. Namun melalui pendekatan dalam bentuk komunikasi yang dilakukan secara bersinergi oleh pihak Penyuluh Agama Hindu Kementerian Agama Kantor Kabupaten Sumbawa Barat, PHDI Kabupaten Sumbawa Barat, dan Bendesa Adat Kertha Bhuana Desa Poto Tano yang membawahi Banjar Yadnya Sari, akhirnya konflik intern umat Hindu dapat dicegah.
Sempalan atau sampradaya apapun yang ada dalam Hindu dapat hadir hadir pada komunitas Hindu dimana saja. Agar dapat menghindari dampak negatif berupa timbulnya konflik sebagai ekses dari hadirnya sampradaya itu pada masyarakat Hindu, maka tulisan ini menjelaskan bagaimana bentuk komunikasi bagi penyuluh Agama Hindu dalam bersinergi dengan segenap pihak, terutama PHDI, pengurus banjar, tokoh agama dan masyrakat, serta pihak sampradaya maupun masyarakat umum.

B. Definisi Komunikasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan pean atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan kontak.
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berartai “sama”, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama (to make common). IStilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. (Mulyana, 20114 : 46).
Gerald R. Miller dalam Mulyana (2014 : 68) menyatakan bahwa komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Everett M. Rogers dalam Mulyana, 2014 : 69).

C. Penyuluh Agama dan Penyuluhan Agama Hindu
Berdasarkan KMA 191 Tahun 2005, penyuluh adalah pembimbing umat beragama dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lebih lanjut melalui keputusan Menko Wasbang Pan No. 54/1999 dijelaskan mengenai pengertian penyuluh agama adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh yang berwenang untuk melaksanakan bimbingan dan penyuluhan agama dan pembangunan kepada masyarakat melalui bahasa agama.
Penyuluh agama Hindu adalah orang yang berfungsi atau mempunyai posisi sebagai pemberi sesuluh (penjelasan) mengenai ajaran agama Hindu. Pada prinsipnya seorang penyuluh agama Hindu adalah bertugas untuk menyampaikan pandangan, pendapat, maupun ajaran-ajaran yang termuat pada Weda maupun Susastra Hindu lainnya. Kesatuan tafsir dan aspek-aspek mengenai ajaran agama Hindu menetapkan bahwa ”penyuluh agama Hindu adalah misionaris dan fungsionaris agama Hindu yang wajib berpegang teguh pada visi, misi dan mandat umat Hindu” (Sura, 1998).
Perlu diketahui bahwa disamping penyuluhan agama ada juga penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama, yaitu penyuluhan program pembangunan dengan pendekatan dalil-dalil ajaran agama dalam rangka meyakinkan umat akan kebenaran serta kebaikan program bersangkutan, agar umat dapat mendukung serta mensukseskan program pembangunan tersebut. Jadi penyuluhan agama Hindu lebih bersifat pembinaan keyakinan umat, berbeda dengan penyuluhan bidang lainnya yang lebih menekankan pada pengetahuan dan keilmuan.
Penyuluhan agama Hindu adalah suatu kegiatan memberikan sesuluh atau penjelasan ajaran agama Hindu dalam rangka pembinaan umat agar dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Hindu dalam kuantitas dan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya. Lebih baik dari sebelumnya berarti meningkatkan kesempurnaan dari apa yang telah ada (Sura, 1998).
Berdasarkan pengertian penyuluh dan penyuluhan agama Hindu tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran agama Hindu patut disebarluaskan dan diajarkan pada masyarakat luas. Manurut Yajur Weda XXVI.2 dalam Jendra (2002) dinyatakan sebagai berikut :
Yathemam wacam kalyanin
Awadani janebhyah
Brahma rajyanyabhyam
Sudraya caryaya ca swaya caranaya ca.

Artinya :
Semoga aku menyampaikan kata-kata suci ini, lepada seluruh umat manusia, kepada kaum catur warna, kepada bangsaku dan bangsa lainnya.

Berdasarkan kutipan Weda di atas, maka agar seorang penyuluh agama Hindu dapat menjalankan penyuluhannya dengan baik tentunya harus didukung dengan teknik dan metode yang digunakan serta kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) penyuluh itu sendiri, mengingat tugas dan fungsi seorang penyuluh agama sangat mulia sebab mengemban visi dan misi agama.
Tugas pokok seorang penyuluh agama ialah melaksanakan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan. Tugas tambahan antara lain menerima surat tugas dari atasan, dan melakukan koordinasi dengan pihak terkait. Sedangkan tugas berkala penyuluh agama ialah membuat laporan kegiatan. Terakhir tugas lainnya yang bisa dilaksanakan oleh penyuluh agama ialah mewakili atasan untuk memenuhi pekerjaan sesuai arahan atau disposisi. Sedangkan fungsi penyuluh agama antara lain fungsi informatif, fungsi edukatif, fungsi konsultatif, dan fungsi advokatif.
Metode Pembinaan dalam agama Hindu antara lain Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Yatra, Dharma Santih, dan Dharma Sadhana. Masing-masing metode tersebut di atas tentunya disesuaikan dengan objek sasaran pembinaan atau penyuluhan serta waktu dan tempat penyuluhan.

D. Teori Konflik
Menurut Pace dan Faules (1994), konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. Sedangkan berdasarkan Teori Kesalahfahaman Antar Budaya menurut Fisher dalam Hamdar (2007) konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya berbeda. Warga pendatang di sebuah daerah sering mengalami konflik dengan penduduk asli setempat karena mereka kurang memahami atau kurang menghargai adat istiadat yang berlaku di wilayah yang didatanginya itu (Hamdar, 2007).
Berdasarkan Teori Identitas menurut Fisher dalam Hamdar (2007), konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Misalnya Bagonjong, misalnya sebagai bangunan yang memiliki ciri khas lazim digunakan pada rumah adat orang Minangkabau dan bangunan milik pemerintah di Sumatera Barat. Ketika Bagonjong ini digunakan oleh bangunan rumah ibadat yang tidak lazim digunakan oleh orang Minangkabau (gereja), maka mereka melancarkan protes karena beranggapan bahwa orang Minangkabau umumnya menganut agama Islam. Penggunaan ciri bangunan itu dipandang dapat menimbulkan persepsi yang keliru (Hamdar, 2007). Jadi secara umum konflik dapat didefinisikan sebagai pertentangan antara antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.
Menurut Indira Agustin yang mengutip Miall et al. (2000), terdapat dua jenis cara untuk mencegah konflik, menyebutnya sebagai light prevention dan deep prevention. Light prevention ini berupaya untuk mencegah situasi kekerasan mengarah pada konflik bersenjata sehingga ia tidak berusaha untuk menyelidik lebih dalam pada sumber dan akar konflik. Contohnya adalah usaha-usaha mediasi dan intervensi diplomatik. Sedangkan deep prevention berupaya untuk menemukan akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas konflik tersebut dalam tatanan kapasitas domestik, regional, dan internasional untuk mengelola konflik, yang melibatkan seluruh elemen konflik dan bertujuan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik (Miall et al., 2000).

E. Sampradaya
Menurut Titib (2007), sebenarnya istilah sampradaya sesunguhnya tidak asing. Istilah lain dari sampradaya adalah parampara. Parampara berarti garis perguruan yang tidak pernah putus dari seorang guru kepada siswa kerohanian (dvijati), di Bali hal ini mirip dengan aguron-guron atau seseorang sisya (murid) berguru kepada seorang pandita nabe (pandita guru) yang nantinya sisya tersebut di-diksa menjadi seorang pandita. Demikian pula halnya istilah sampradaya berarti kelompok yang mempelajari ajaran atau dokrin tertentu dalam agama Hindu yang oleh orang barat disebut sekta.
Pengertian sampradaya menurut bahasa Sanskerta memiliki 8 butir definisi sebagai berikut ; (1) seseorang yang memberi anugrah, (2) Penyaji, (3) Tradisi/agama, (4) ajaran/agama yang sudah mantap, yang diajarkan oleh seorang guru kepada orang lain, (5) kepercayaan yang telah menjadi tradisi, (6) sesuatu yang khas atau merupakan bagian sistem dari suatu ajaran agama, (7) suatu cara pengungkapan tradisi veda, (8) suatu versi di dalam tradisi ajaran agama. Sedangkan bahasa Kawi-Indonesia mendefinisaikan sampradaya sebagai suatu tradisi atau adat. Tentu yang dimaksud tradisi di sini adalah tradisi mempelajari agama Hindu.
Sedangkan menurut Putra (2006), sampradaya adalah doktrin tradisional tentang pengetahuan. Sebuah aliran yang hidup dari tradisi atau theologi dalam agama Hindu, diteruskan secara latihan lisan dan upanayana (inisiasi). Istilah ini berasal dari kata kerja ‘samprada’, yang artinya memberi, menghadiahi, menyerahkan, menganugrahkan; menurunkan melalui tradisi, mewariskan. Karena itu sampradaya adalah satu filosofi yang diturunkan melalui sejarah dengan penyampaian bahasa lisan. Istilah ini lebih inklusif (mencakup) dibandingkan dengan istilah sejenis yaitu ‘parampara’ yang berarti satu garis keturunan yang hidup dari para guru yang telah disucikan yang mengejawantahkan dan meneruskan suatu sampradaya.
Jendra (2007), sampradaya adalah suatu sistem perguruan yang telah mentradisi yang menjadi bagian integral dari sistem belajar pengetahuan sejati (spiritual) dalam Weda atau agama Hindu.
Bhagawan Dwija dalam artikelnya yang berjudul Quo Vadis Sampradaya yang dipublikasikan melalui stitidharma.net, (2013), menyatakan bahwa Sampradaya bila dilaksanakan sesuai dengan tujuannya, menurut beberapa Upanisad, bertujuan baik, yakni mencerdaskan dan menguatkan pengetahuan spiritual para anggota kelompoknya sehingga mereka menjadi manusia yang taat melaksanakan ajaran agama. Realitanya memang banyak sampradaya yang mampu menuntun pengikutnya meningkatkan pemahaman agama dan spiritualitas. Namun demikian, sampradaya bisa mengarah ke hal negatif bilamana dipimpin oleh rohaniwan yang mempunyai misi dan visi menyimpang, misalnya :
1) Membuat kelompok yang eksklusif.
2) Menyebarkan kepercayaan atau keyakinan yang berbeda dengan kepercayaan atau keyakinan ataupun tradisi beragama semula.
3) Nafsu untuk mencari pengikut dalam artian massa yang besar yang kemudian digunakan untuk menentang atau melawan kelompok lain.
4) Tujuan-tujuan bersifat politik terselubung lainnya.
5) Membangun ‘sekte’ lain dari sekte semula.
6) Membentuk kultus individu.
Sampradaya yang berkembang di Bali, ada yang sudah menyimpang seperti di atas. Akibatnya terjadi konflik antara kelompok-kelompok atau setidak-tidaknya timbul kecurigaan satu sama lain yang merupakan bibit perpecahan diantara umat Hindu, seperti perpecahan PHDI Campuhan – Besakih, pro-kontra pendirian Ashram di Mengwi, konflik di perangkat Desa.
Selanjutnya menurut Jendra (2007) ciri sampradaya itu secara garis besar:
1) Hanya menyembah salah satu dewa sebagai manifestasi Tuhan. Inilah yang disebut dengan istilah bahwa sampradaya punya ista dewata sendiri.
2) Mempunyai cara-cara berbhakti yang khusus yang merupakan bagian integral dari cara berbhakti agama Hindu, tetapi cara itu yang diterapkan yang dibiasakan dalam kelompoknya karena diyakini lebih efektif.
3) Mempunyai guru spiritual tersendiri yang diyakini akan lebih mudah memberi pemahaman terhadap kelompoknya.
4) Mempunyai disiplin bhakti tersendiri, urutan bhakti tersendiridan cara pengelolaan yang khas.
5) Mempunyai centre (pusat) atau tempat kegiatan tersendiri. Tempat kegiatan itu digunakan dalam berbagai bentuk aktivitas, sehingga tidak mengganggu masyarakat.
6) Disiplin dalam sadhana spiritualnya relatif lebih baik dan tinggi frekuensinya dibandingkan dengan orang yang yang bersangkutan sebelum ikut sampradaya.
7) Kebanyakan anggota sampradaya melaksanakan hidup vegetarian. Falsafah hidup yang mendasari adalah ahimsa.
8) Kebanyakan anggota sampradaya tidak mengkonsumsi atau bebas (meminum, pen) minuman keras, tidak merokok, tidak morfinis, tidak berjudi dan relatif lebih memiliki kasih sayang dibandingkan dengan orang itu sebelum ikut sebagai anggota sampradaya.
9) Kebanyakan anggota sampradaya relatif lebih disiplin dalam segala aktivitasnya dibandingkan dengan sebelum masuk sampradaya.

F. Banjar, dan Bendesa Adat
Banjar adalah pembagian wilayah aadministratif di Provinsi Bali, Indonesia, di bawah kelurahan, atau desa, setingkat dengan rukun warga. Banjar merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (sumber : http://id.m.wikipedia.org/wiki/Banjar_(Bali)).
Bendesa menurut Wikipedia merupakan sebutan untuk pemimpin dalam sebuah desa di Bali yang mengurusi bagian adat. Selain Bendesa dalam sebuah desa di Bali juga memiliki Kepala Desa yang mempunyai derajat sama tetapi mempunyai tugas yang berbeda. Bendesa Adat ialah pemimpin suatu desa adat.
Suatu desa didasarkan atas kesatuan tempat. Suatu desa adat di Bali atau desa adat yang dibawa oleh orang Bali keluar Bali yang berada di rantauan, mengisyaratkan disamping didasari oleh kesatuan wilayah, desa adat juga didasari oleh suatu kesatuan keagamaan. Kesatuan keagamaan itu ditentukan oleh suatu komplek pura desa yang disebut Kahyangan Tiga, ialah Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Ada kalanya Pura Puseh dan Pura Bale Agung dijadikan satu dan disebut Pura Desa (Bali Aga, 2000).
Jadi Bendesa adat merupakan seorang pemimpin desa adat yang memiliki suatu persekutuan atau persekutuan wilayah yang berdasar atas kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup yang diwarisi secara turun temurun serta diikat dengan kahyangan tiga yaitu pura puseh, pura dalem dan pura desa. Dari unsur kahyangan tiga yang mengikat desa adat maka pura desa atau sering disebut pula bale agung merupakan unsur pengikat yang paling jelas.
Konsep desa adat dan banjar tetap dibawa oleh orang Bali walaupun merantau keluar dari pulau Bali. Konsep ini tetap dipertahankan dan menjadi landasan dalam kehidupan sosial warga Bali, terutama dalam kegiatan agama dan keagamaan Hindu. Tatanan masyarakat Hindu yang sebagain besar Suku Bali dalam kehidupan agamanya mempertahankan tradisi Hindu Bali. Adanya konsep lain atau konsep baru, bagi warga banjar atau desa adat ada yang dapat menerima dan ada yang tidak dapat menerimanya.

G. Komunikasi Penyuluh Agama Hindu dalam Mencegah Konflik Akibat Masuknya Sampradaya Baru pada Suatu Banjar
1. Berkomunikasi untuk bersinergi dalam melakukan kajian pustaka bersama
Berkomunikasi dalam melakukan kajian pustaka bersam ini bertujuan untuk menentukan materi bimbingan dan penyuluhan yang berkaitan dengan pencegahan konflik dan pokok-pokok ajaran Agama Hindu yang terkait dengan Sampradaya. Sebagaimana contoh pada permasalahan yang ada di banjar Yadnya Sari, Desa Kokarlian, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, Penyuluh Agama Hindu melakukan kajian pustaka tentang penyelesaian potensi konflik internal umat Hindu. Penyuluh juga melakukan kajian pustaka untuk menentukan bahan penyuluhan dan bimbingan baik kepada masyarakat umum maupun kepada pengikut sampradaya.
Penyuluh melaporkan kondisi yang ada di Banjar Yadnya Sari kepada atasan di Kementerian Agama Kantor Kabupaten Sumbawa Barat, dan kepada Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat (Bimas) Hindu Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Laporan tersebut disampaikan pula kepada Ketua PHDI Provinsi NTB. Penyuluh juga aktif berkoordinasi dengan Ketua PHDI Kabupaten Sumbawa Barat dan jajaran pengurus PHDI Kabupaten Sumbawa Barat lainnya, termasuk dengan Bendesa Adat Kertha Bhuana.
Komunikasi yang dilakukan dalam bersinergi melaksanakan kajian pustaka oleh Penyuluh, PHDI, dan Bendesa Adat, berhasil memutuskan untuk memberikan penyuluhan tentang:
a. Penguatan ajaran Panca Sradha, ialah lima dasar keyakinan Agama Hindu. Kelima bagian Panca Sraddha tersebut adalah 1) Percaya akan adanya Sang Hyang Widhi (Tuhan), 2) Percaya akan adanya Atman; 3) Percaya akan adanya Karmaphala (Hukum Karma) 4) Percaya akan adanya Punarbhawa (Samsara), dan 5) Percaya akan adanya Moksa.
b. Sosialisasi Keputusan Mahasabha VIII PHDI nomor III/TAP/M. SABHA/VIII/2001 tanggal 23 September 2001 di Bali tentang Aliran Kepercayaan Hindu atau Sampradaya, yang isinya yaitu : 1) PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama, wajib mengayomi segenap umat secara pribadi maupun “yang menghimpun diri dalam berbagai kelompok spiritual” yang didasarkan ajaran Hindu; 2) Kelompok Spiritual atau Sampradaya dalam melaksanakan aktivitas keagamaan agar berkonsultasi dan selalu taat pada Keputusan Parisada sesuai tingkatannya serta tetap menghormati pelaksanaan agama yang telah menyatu dengan nilai-nilai budaya dan tradisi setempat.
c. Sosialisasi hasil pertemuan yang diselenggarakan di Direktorat Jenderal Bimas Hindu dan Buddha tanggal 5 Desember 2001, dan dihadiri beberapa Kelompok Spiritual atau Sampradaya antara lain Yayasan Sri Satya Sai Baba Indonesia, Dewi Mandir, Yayasan Keluarga Besar Chinmaya Jakarta, Yayasan Radha Govinda, Guru Dwara Sikh Temple dan Paguyuban Majapahit telah membuat Kesepakatan Bersama mengenai 4 (empat) hal : (a) sepakat untuk saling menghormati tata cara kegiatan kerohanian dan keagamaan masing-masing Sampradaya; (b) sepakat untuk melaksanakan kegiatan kerohanian dan keagamaan sesuai dengan tata cara yang diyakini masing-masing serta dilaksanakan dalam lingkungan atau tempat kegiatannya masing-masing; (c) sepakat untuk tidak mencampuri tata cara kegiatan kerohanian dan keagamaan yang dilaksanakan di tempat masing-masing serta menghormati aturan yang berlaku; (d) Masing-masing menyadari bahwa ajaran agama Hindu merupakan ajaran suci dan sarat makna, karena itu wajib menghargai perbedaan persepsi dan tafsir yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok atau sampradaya dengan tidak saling mencela satu dengan yang lain.
d. Penguatan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, yaitu Tatwa (filsafat), Susila (etika), dan upacara (ritual). Bahwa tattwa pokok dan susila adalah sama dalam sampradaya manapun, pelaksanaan upacara (ritual) yang dikemas berbeda-beda seyogyanya jangan menggerus kearifan lokal (local wishdom) yang telah berjalan selama ini.
e. Penguatan ajaran Nawa Laksana Bhakti, yaitu sembilan jalan bhakti dalam agama Hindu. Bhagavata Purana atau Srimad Bhagavatam VII.5.23, menyebutkan ada 9 (sembilan) jenis cara mewujudkan rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, terdiri dari: Sravanam, yakni mempelajari keagungan Hyang Widhi melalui pembacaan kitab-kitab suci; Kirtanam, mengucapkan atau menyanyikan nama-nama Hyang Widhi; Smaranam, mengingat nama-Nya atau bermeditasi tentang-Nya; Padasevanam, melakukan pelayanan kepada Hyang Widhi termasuk melayani atau menolong berbagai mahluk ciptaan-Nya; Arcanam, memuja keagungan-Nya umumnya dengan sarana arca dan persembahan bunga serta buah-buahan; Vandanam, berbhakti dengan jalan membaca cerita suci, membaca sloka, membaca mantram kitab suci Weda dengan penuh keikhlasan yang bertujuan untuk mengedepankan rasio dalam menghayati kesucian agama; Dasyanam, melayani-Nya dalam pengertian mau melayani mereka yang memerlukan pertolongan dengan penuh keikhlasan; Sakhyam, memandang Hyang Widhi sebagai sahabat sejati yang selalu memberikan pertolongan; dan Atmanivedanam, penyerahan diri secara total kepada-Nya.
f. Penguatan ajaran Panca Yadnya, yaitu lima korban suci yang tulus dan ikhlas penuh cinta kasih. Bagian Panca Yadnya yaitu Bagian-bagian panca yadnya yang disebutkan diatas adalah: Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta yadnya.

2. Berkomunikasi untuk bersinergi dalam melaksanakan kegiatan bimbingan atau penyuluhan
Komunikasi dalam rangka bersinergi melaksanakan bimbingan dan penyuluhan ini penting untuk memberikan citra kompak bagi pandangan segenap umat Hindu, bahwa pihak yang terkait dengan kehidupan beragama dan keagamaan Hindu dalam melakukan pengayoman dan pembinaan agama senantiasa berkoordinasi. Kekompakan ini sebagai wujud mengkomunikasikan pentingnya kebersamaan dalam suatu komunitas banjar.
Kembali mengangkat contoh pada kasus yang terjadi di Banjar Yadnya Sari, Kabupaten Sumbawa Barat, pada tanggal 14 Juni 2014 Penyuluh bersama PHDI, dan Bendesa Adat Kertha Bhuana bersama-sama melaksanakan kegiatan bimbingan dan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan dilaksanakan di Balai Banjar Yadnya Sari dari pukul 17.30 wita sampai dengan 22.35 wita. Metode yang digunakan ialah Dharma Wacana (ceramah) dan Dharma Tula (diskusi). Seluruh anggota banjar dihadirkan dalam kegiatan tersebut, termasuk pengikut dari sampradaya.
Penyuluh memaparkan dari sisi ajaran agama Hindu yang memang memungkinkan sampradaya hadir dan tetap eksis di dalam Hindu. Penyuluh menekankan pada ajaran Nawa Laksana Bhakti, dan mengutip sloka Bhagawad Gita IV. 11 ”Ye yathaa maam prapadyante, taamstathaiva bhajaamyaham; Mama vartmaanuvartante, manushyaah paartha sarvashah”. Artinya: Bagaimana pun (jalan) manusia mendekatiKu, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan. Terlebih pentingnya menjaga kerukunan atau mencegah konflik dengan menekankan ajaran Tri Hita Karana.
PHDI Kabupaten Sumbawa Barat dan PHDI Kecamatan Poto Tano memberikan penyuluhan mengenai pentingnya saling menghormati. Materi yang disampaikan ialah sosialisasi Keputusan Mahasabha VIII PHDI nomor III/TAP/M. SABHA/VIII/2001 tanggal 23 September 2001 di Bali tentang Aliran Kepercayaan Hindu atau Sampradaya, dan sosialisasi hasil pertemuan yang diselenggarakan di Direktorat Jenderal Bimas Hindu dan Buddha tanggal 5 Desember 2001, dan dihadiri beberapa Kelompok Spiritual atau Sampradaya.
Bendesa Adat Kertha Bhuana sebagai pemimpin adat dan keagamaan Hindu menggandeng pihak Kepolisian. Selain Bendesa adat memperjelas keputusan PHDI nomor III/TAP/M. SABHA/VIII/2001 di atas, juga ditekankan mengenai tata cara persembahyangan yang berlaku di pura. Pihak kepolisian yang hadir, dalam hal ini Kepala Kepolisian Sektor Seteluk memaparkan pentingnya menjaga kondusifitas dalam kehidupan bermasyarakat, dan pentingnya menghormati peraturan hukum yang berlaku, baik itu humum positif tertulis, maupun hukum adat.
Keputusan penting yang disepakati pada saat penyuluhan di atas ialah:
a. masyarakat dapat menerima hadirnya sampradaya dengan catatan pengikut sampradaya tidak lagi menggunakan sound system dengan volume yang keras. Pelaksanaan jam persembahyangan jangan sampai larut malam, mengingat anak-anak yang ikut dalam sampradaya itu juga perlu waktu untuk belajar, serta masyarakat butuh waktu untuk istirahat.
b. Pengikut sampradaya dilarang menggunakan pura bila akan menggunakan tata cara mereka bersembahyang di pura, karena di pura telah memiliki tata cara tersendiri.

3. Berkomunikasi untuk bersinergi dalam melaksanakan pengawasan
Berkomunikasi dalam melakukan pengawasan yang dilaksanakan secara sinergis merupakan faktor yang sangat menentukan. Karena setiap pihak sesuai dengan peranmasing-masing tentu tidak dapat bergerak sendiri dalam melaksanakan pengawasan. Pengawasan yang terkoordinasikan dengan baik melalui komunikasi yang efektif dapat mencegah peluang terulangnya muncul suatau konflik. Pengawasan dapat mendeteksi secara dini potensi-potensi yang mengarah pada konflik.
Pada contoh kasus yang sama seperti di sebut di atas, pasca kegiatan bimbingan dan penyuluhan sebelumnya, Penyuluh Agama Hindu, PHDI, dan bendesa adat bersama-sama melaksanakan pengawasan terhadap sampradaya. Berkomunikasi untuk bersinergi juga terus melaksanakan pembinaan terhadap masyarakat dengan lebih mengintensifkan penyampaian pokok-pokok ajaran agama Hindu, terutama saat-saat piodalan mengingat masyarakat yang hadir bisa optimal.
Selama tahap pengawasan ini, sampradaya membangun ashram yang letaknya jauh dari pemukiman warga. Pembangunan ashram yang jauh dari pemukiman warga dimaksudkan agar kegiatan persembahyangan mereka tidak mengganggu masyarakat. Selama beberapa bulan, sampai akhir tahun 2014 tidak terjadi lagi potensi konflik.
Pada bulan Januari 2015, potensi konflik yang lebih besar mulai muncul lagi. Menurut Bendesa Adat Kertha Bhuana, beberapa oknum pengikut sampradaya memaksanakan diri menggunakan Pura Dalem dan Pura Penatara Ped sebagai tempat kegiatan persembahyangan dengan menggunakan tata cara mereka. Masyarakat banjar bereaksi keras dan sempat bersitegang dengan pengikut sampradaya, masyarakat hampir saja terprovokasi untuk membakar ashram milik sampradaya.
Bendesa Adat menghubungi penyuluh dan PHDI Kecamatan Poto Tano. Karena posisi penyuluh saat kejadian berada di luar daerah, maka penyuluh berkomunikasi, berkoordinasi dengan pembina kerohanian Ikatan Keluarga Besar Hindu (IKBH) Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Sumbawa Barat, yaitu Pinandita Made Derma. Pinandita berkoordinasi dengan Bendesa Adat dan PHDI Kecamatan Poto Tano dengan tetap berkonsultasi dengan penyuluh dalam mengawasi kegiatan sampradaya dan bermediasi untuk membatasi kegiatan yang berpotensi menimbulkan konflik, terutama ketika melanggar kesepakatan pada pembinaan tanggal 14 Juni 2014 yang telah lewat. Pada tanggal 11 Maret 2015 oleh PHDI dan Bendesa Adat dilaksanakan pertemuan dengan pengurus sampradaya dan disepakati apabila pengikut sampradaya ini kembali menimbulkan kegiatan yang dapat menyebabkan konflik maka hak-hak (sesuai awig-awig) adatnya akan dicabut dan dikeluarkan dari keanggotaan Desa Adat, serta dilarang tinggal di Banjar Yadnya Sari.
Ketegasan keputusan yang diambil dengan cara komuikasi yang intensif untuk bersinergi tersebut mampu mereda potensi konflik yang sempat muncul. Kegiatan sampradaya secara bersama-sama sudah tidak muncul lagi, tetapi bagi pengikutnya yang masih melaksanakan tata cara sesuai keyakinannya diberikan sebatas di lingkungan rumah masing-masing dengan tidak mengganggu tetangga.

H. PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa komunikasi Penyuluh Agama Hindu dalam mencegah konflik akibat masuknya sampradaya pada suatu banjar dapat dilakukan dalam rangka bersinergi dengan pihak PHDI, banjar, dan Bendesa Adat, serta segenap pihak yang terkait. Komunikasi yang dilakukan yaitu dalam hal: 1) berkomunikasi untuk bersinergi melaksanakan kajian materi bimbingan; 2) berkomuikasi untuk bersinergi dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, dan 3) berkomunikasi untuk bersinergi dalam melakukan pengawasan sampradaya.
Masing-masing komponen baik itu penyuluh, PHDI maupun bendesa adat dalam melaksanakan sinergi peran masing-masing diharapkan tetap menjalin komunikasi dan koordinasi yang intensif dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap pengikut sampradaya, terutama ketika pengikut sampradaya yang bergerak sendiri tanpa sepengetahuan pengurus sampradaya yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I Gede Rudia, dkk. 2004. Dasar-Dasar Agama Hindu. Jakarta: Direktorat Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha
Arraiyah, Hamdar. 2007. Analisis Konflik. Jakarta : Pusdiklat Departemen Agama
Cudamani. 1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi
Fajri, Em, Zul, Tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Tkt: Difa Publisher
Mulyana, Deddy. 2014. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung : Rosda
Netra, Anak Agung Gde Oka. 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI, Ditjen Bimas Hindu dan Budha
Pudja, Gde. 1999. Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita
Titib, Made. 1994. Ketuhanan Dalam Weda. Denpasar : Pustaka Manik Geni
Wirdiata, I Made Sri. 2015. Sinergi Penyuluh Agama, Parisada, dan Bendesa Adat dalam Mencegah Konflik Intern Umat Hindu Sebagai Dampak Masuknya Sampradaya di Banjar Yadnya Sari Kabupaten Sumbawa Barat (Karya Tulis Ilmiah). Denpasar : Balai Diklat Keagamaan
________ 1996. Buku Petunjuk Pelaksanaan Teknis Pembinaan Umat Hindu. Ditjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=769&Itemid=79
________ 2009. Materi Orientasi Penyuluh Honorer Bimas Hindu Kanwil Depag Propinsi NTB tahun 2009. Bidang Bimas Hindu Kanwil Depag Propinsi NTB.
Ramstedt, M. 2004. Hinduism in Modern Indonesia. Routledgecurzon. Diakses melalui http://id.wikipedia.org/ pada tanggal 19 April 2015 pukul 19.58 wita
Purwita. Desa Adat dan Banjar di Bali. Denpasar : Kawisastra. http://stitidharma.org/sampradaya/ didownload tanggal 19 April 2015 pukul 21.27 wita
http://stitidharma.org/parisada/ didownload tanggal 19 April 2015 pukul 21.05 wita
http://id.wikipedia.org/wiki/Parisada_Hindu_Dharma_Indonesia didownload pada tanggal 19 April 2015 pukul 17.06 wita
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/10/8/bud1.html didownload tanggal 19 April 2015 pukul 19.16 wita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar